Membahas Berbagai Masalah Agama, Tasawuf, Usuluddin, Fikih dan Lainnya.

Jumat, 24 Juni 2016

TASHAWUF: KAJIAN KITAB AL HIKAM BAB 35, 36, 37, 38 SYAIKH AHMAD IBNU ‘ATHAAILLAH AS SAKANDARY

BAB 35 ASAL DARI MA’SIAT DAN KETAATAN

“ Asal dari semua ma’siat dan kelalaian serta syahwat ialah rela memuaskan hawa nafsu. Sedang asal dari segala ketaatan, kesadaran, dan menghargai diri sendiri adalah tidak adanya kerelaan mengumbar hawa nafsu “.

Orang yang rela (senang) pada diri sendiri, pasti menganggap apa saja yang berhubungan dengan dirinya adalah baik, walaupun sejatinya buruk ia akan berusaha untuk menutupinya  hingga ia lupa kepada Allah, ia tidak mau mengoreksi dan memperbaiki semua keburukan dirinya, hatinya dikuasai oleh hawa nafsu, dan akhirnya ia tidak bisa mendalikan diri dan mengumbar hawa nafsunya untuk berbuat ma’siat.

Sebaliknya, orang yang tidak senang pada dirinya, orang tersebut tidak mau menganggap bagus semua perbuatannya, tapi ia selalu mengoreksi dan memperbaiki keburukannya juga berusaha sepenuh tenaganya untuk mengekang hawa nafsunya. Maka akhirnya muncullah ‘iffah (menghargai) dirinya yang telah mapan menjadi hamba Allah yang muslim dan beriman, akhirnya ia tidak berani melalaikan semua perintah Allah dan tidak berani melakukan larangan Allah.

Imam Al Bushiry berkata dalam burdah nya: “Tentanglah selalu hawa nafsu dan syaitan jga jangan mengikuti rayuan keduanya, meskipun keduanya memberi nasihat kepadamu untuk berbuat kebaikan, engkau harus tetap curiga dan waspada”.

Imam Hafsh juga berkata: “siapa yang tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang masa, tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menariknya ke jalan kebaikannya, maka ia telah tertipu. Dan siapa yang memandang (merasa) dirinya sudah baik, berarti ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya”.

BAB 36 PERBEDAAN ORANG ALIM DAN ORANG BODOH

“ Dan sekiranya engkau berteman dengan orang bodoh yang tidak menuruti hawa nafsunya, itu lebih baik daripada berteman dengan orang ‘alim yang senang menuruti hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi orang ‘alim yang senang menuruti hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat disebutkan bagi orang yang dapat mengekang (menahan) hawa nafsunya.”

Berteman, berkumpul dan bergaul dengan orang bodoh (yang tidak mengerti ilmu-ilmu tentang alam semesta), tapi orang yang bodoh itu tidak senang menuruti dan mengumbar hawa nafsunya. Hal demikian itu adalah lebih baik daripada berteman dan bergaul dengan orang ‘alim yang senang menuruti hawa nafsunya (selalu menganggap dirinya sudah baik) dan tidak mau memperbaiki kesalahannya.

Orang ‘alim yang membanggakan dirinya, menganggap semua perbuatannya baik dan tidak mau mengoreksi dirinya sama dengan orang yang tidak ‘alim, sebab ilmu orang ‘alim yang seperti ini tidak memberi manfaat pada dirinya dalam hal ma’rifat kepada Allah atau dalam hal meningkatkan keimanannya.

Sebaliknya, orang bodoh yang tidak mengerti ilmu-ilmu dzahir, tapi ia tidak pernah membanggakan dirinya, selalu mengoreksi dirinya serta mau memperbaiki kekurangannya dalam hal beragama, maka ia bukanlah orang bodoh, sebab setiap waktu ia bisa mengambil manfaat ilmunya walaupun tidak mengerti ilmu-ilmu yang dzahir (tentang alam).

BAB 37 HAKIKAT MATA HATI MENUNJUKKAN SIFAT WUJUD ALLAH

“ Sinar mata hati dapat memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Dan mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah, dan hakikat mata hati itulah yang menunjukkan kepadamu sifat wujud Allah, bukan ‘adam (ketiadaan) mu dan bukan pula wujudmu”.

Syu’aul bashiroh (sinar mata hati) ialah cahaya akal yang menunjukkan pada keimanan. ‘Ainul bashiroh (mata hati) yaitu cahay iman yang menunjukkan pada kenyataan.

Orang-orang yang menggunakan akal mereka, pasti akan merasakan kedekatan Allah pada dirinya (Allah selalu meliputi dan mengurusi mereka). Sedangkan orang yang selalu menggunakan cahaya iman merasa dirinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Dzatnya Allah. Sedang hakikat mata hati hanya melihat adanya Allah tanpa melihat yang lainnya, karena selain Allah (seperti alam dan makhluk) tidak dapat berdiri sendiri dan mereka tidak mungkin wujud tanpa adanya Allah.
BAB 38 ALLAH TIDAK MENGENAL PERUBAHAN

“Telah ada Allah, dan tiada sesuatu di samping Nya, dan Allah sekarang sebagaiman adanya semula (tidak akan pernah berubah).”

Hal ini menunjukkan bahwa adanya Allah sebelum diciptakannya alam semesta dan sesudah tamatnya riwayat alam semesta ini tetaplah sama, Allah tidak akan pernah berubah dan tetap sebagaimana semula. Tidak seperti manusia yang awal dilahirkannya berupa  bayi, lalu beranjak dewasa  kemudian menjadi tua renta dan akhirnya mati. Allah tetap kekal abadi dan tidak ada yang menyamai Nya.


Tidak ada komentar: