Membahas Berbagai Masalah Agama, Tasawuf, Usuluddin, Fikih dan Lainnya.

Senin, 26 Maret 2018

Konversi Mud dan Sho' Dalam Ukuran Gram Untuk Zakat



Konversi Mud dan Sho' Dalam Ukuran Gram Untuk Zakat - Dasar pijakan kewajiban zakat fitrah sebelum terjadinya ijma’ adalah dalah hadis shohih dari ibnu umar yang meriwayatkan bahwa rasul mewajibkan zakat fitrah setiap orang islam merdeka ataupun hamba sahaya, laki-laki atau perempuan dengan kadar 1 sho’ tamar atau 1 sho’ gandum.

Menurut sejarahnya, zakat fitrah diwajibkan pada bulan romadhon, dua hari menjelang hari raya pada tahun dua hijriyah, sesuai dengan namanya, zakat fitrah diwajibkan dalam rangka pembersihan dan pensucian diri orang islam sekaligus meningkatkan amal ( pahalanya ). Zakat fitrah disebut juga zakat badan, karena memang kewajiban zakat fitrah tidak didasarkan atas kepemilikan seseorang terhadap satu nishob harta, sebagaimana zakat mal.

Sebagai mana dalam hadis, zakat fitrah yang dikeluarkan adalah kurma kering atau gandum. Namun penyebutan kurma atau gandum tidak bisa dipahami sebagai pembatasan terhadap jenis zakat yang dikeluarkan. Begitu pula penyebutan bbeberapa jenis makanan dalam riwayat hadis zakat fitrah yang lain, tidak berarti dalam rangka penentuan zakat fitrah harus menggunakan makanan yang disebut dalam teks, yang jelas dapat disimpulkan adalah berupa jenis makanan. oleh karenanya setiap jenis makanan yang memiliki kesamaan fungsi denga jenis makanan yang termaktup dalam hadis dapat dijadikan zakat fitrah seperti yantg dirumuskan fuqoha, yaitu setiap jenis makanan pokok قوت.

Adapun kadar jenis makanan yang dikeluarka adalah satu sho’ . Sho’ adalah istilah alat takar yang cukup populer di wilayah arab, lebih-lebih di Madinah yang mayoritas penduduknya petani. Berbeda dengan penduduk Makkah yang mayoritas penduduknya pedagang. mereka lebih dekat dengan timbangan, meski tidak berati mereka buta soal takar menakar. Pada masa Rasululloh praktek mengeluarkan zakat, adalah menggunakn alat takar sho’ ini. Praktis dapat dipastikan,kala itu tidak ada peluang perdebatan tentang kadar zakat yang dikeluarkan meskipun dari jenis makanan pokok yang berbeda. dikemudian hari sho’ tersebut lebih dikenal dengan sebutan sho’ nabi atau sho’ madinah

Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan agama islam meluas pada wilayah yang budaya mengukur satuan benda, tidak menggunakan takaran. Melainkan menggunakan timbangan. Disisi lain makanan pokok sebagian wilayah tersebut berbeda dengan makanan pokok mayoritas muslimin mekkah madinah. katakanlah beras sebagai contohnya, kondisi yang demikian ini menuntut adanya ukuran yang menjadi padanan sho’ zakat dalam budaya masyarakat yang tiak mengenal alat takar sho’, untuk selanjutnya padanan sho’ tersebut dijadikan rujukan standarisasi dalam praktek zakat mereka

Dari sini muncul perbedaan pendapat para ulama’ sesuai dengan pengalaman mereka dalam mengukur sho’ kedalam ukuran timbangan ( bobot barang ) dalam istilah ukuran wilayah masing-masing . Dalam al-majmu’’, satu sho’ adalah lima kati lebih 1/3, dengan menggunakan kati bagdad, istilah ukuran bobot barang diwilayah Irak. Pendapat ini sama dengan pendapat Al-Imam Malik, abu yusuf dari madzhab khanafi, imam ahmad, fuqoha’ haromain dan mayoiritas fuqoha’ Irak. Berbeda dengan abu hanifah, dan Muhammad, beliau megukur satu sho’ dengan 8 kati. Perbedaan inipun ,menjadi semakin berfariasi ketika ditawarkan dalam istilah ukuran modern yaitu kilogram sebagaimana yang disebutkan dalam diskripsi soal.

Dalam mensikapi persilisian tersebut, sebagian ulama’ memberi komentar dengan pernyataan bahwa standar rujukan asal dalam kadar zakat ftrah adalah takaran. Adapun mengukurnya dalam timbangan adalah didasarkan langkah memperjelas (Istidzharon) dan tentunya lebih mempermudah, khususnya didaerah yang tidak dikenal istilah sho’

Begitu pula halnya, keputusan yang diambil musyawirin dengan merumuskan 1 sho’ adalah 2,5 kg, merupakan langkah istidzhar, dalam mengambil jalan tengah diantara perselisihan pendapat 1 sho’ beras dalam konteks keIndonesiaan. Bukan kepastian yang paten. Hal ini didasarkan pada pembuktian yang dilakukan sebagian musyawirin didaerahnya masing-masing dengan mengukur 1 sho’ beras putih yang meng hasilkan ukuran berbeda beda. Ada yang mengukurnya menjadi 2,4 kg, ada yang 2,7 bahkan 2,9 kg.

Hal ini dapat dimaklumi, karena macam beras yang ditimbang tidaklah sama. Bukan lantaran sho’nya yang berbeda. Perbedaan bobot beras satu sho’ bisa terjadi lantaran beras yang dihasilkan dari lahan tanam tertentu tidak sama dengan lahan yang lain. Tingkat kesuburan tanah cukup berperan dalam menentukan bobot gabah yang dihasilkanya. Belum lagi masalah pemupukan dan cara tanam yang beragam, bisa mempengaruhi hasil, tidak hanya dari sisi banyak sedikitnya barang tapi juga berat ringannya.

Menurut imam Nawawi mengukur sho’ dengan kati masih menyisakan isykal. Masalahnya sho’ yang dijadikan alat takar zakat pada masa Rasullah sudah cukup dikenal. Dan tentunya kadar bobot barang yang ditakar dengan sho’ tersebut akan berbeda menurut macam-macam barang yang ditakar itu sendiri

1 sho’ jagung berbeda bobotnya dengan satu sho’ gandum, begitu pula yang lainnya

Selanjutnya untuk mendukung logikanya, Al-Imam Nawawi menukil pernyataan Al-Imam Abul faroj Addarimy yang mencermati masalah ini. kesimpulan pendapatnya adalah bahwa yang benar dalam menentukan kadar zakat haruslah berpegang pada patokan takaran bukan timbangan. Yang menjadi kewajiban zakat adalah mengeluarkan satu sho’ yang diukur memiliki kesamaan volume dengan sho’ yang dipakai menakar zakat masa nabi. Dan sho’ yang demikian itu ,ada. Bagi yang tidak mampu mendapatkan sho’ wajib mencari kejelasan dengan mengeluarkan zakat dalam kadar yang diyakini tidak kurang dari satu sho’ nabi. Dengan demikian mengukur 1 sho’ dengan 5 kati lebih 1/3 adalah langkah pendekatan( bukan kepastian).

Jadi zakat fitrah wajib dikeluarkan sebesar satu sho' berdasarkan hadist tersebut diatas. yang menjadi masalah disini, di Indonesia tidak menggunakan satuan sho'. dan perbincangan mengenai satuan sho' tidak hanya terjadi sekarang dan tidak hanya di Indonesia mari kita simak mengenai perbedaan ukuran 1 sho' dari pelbagai pendapat :

Menurut Beberapa Ulama Mazhab Fiqh

Satu Sho' sama dengan empat mud, dan satu mud sama dengan 675 Gram  Jadi satu Sho' sama dengan 2700 Gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910)

Sedangkan menurut al-Rafi’i dan madzhab Syafi’i, sama dengan 693 1/3 dirham (Al-Syarqawi, Op cit, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295; Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Juz II, hal. 141) Jika dikonversi satuan gram, sama dengan 2751 gram (2,75 kg) (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu, Dar al-Fikr, Juz II hal, 911)

Dari kalangan Hanbali berpendapat, satu sho' juga sama dengan 2751 gram (2,75 kg)

Imam Hanafi ukuran satu sho' menurut madzhab ini. lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Sebagaimana tercantum dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli Juz II, hal. 909. :

Satu sho' menurut imam Abu Hanifah dan imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu Rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg).

Bahkan Imam Hanafi juga memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Di antara kelompok Hanafiyah adalah Imam Abu Yusuf menyatakan: Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin. Lihat Dr. Ahmad al-Syarbashi, Yasa’ alunaka fi al-Dini wa al-Hayat, Beirut: Dar al Jail, Cet. ke III, 1980, Juz II, hal. 174. Juga Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan : Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya). Baca Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Dar al-Qalam, cet. ke III , 1966, hal. 120. Kedua tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sho’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Di dalam al Qamus, mud adalah takaran, yaitu dua rithl (menurut pendapat Abu Hanifah) atau satu sepertiga rithl (menurut madzhab jumhur) atau sebanyak isi telapak tangan sedang, jika mengisi keduanya, lalu membentangkannya, oleh karena itu dinamailah mud (Subulus Salam, hal. 111.  Di dalam cetakan Darus Sunnah Press tertulis liter bukan rithl, dan yang masyhur adalah ucapan rithl, insya Allah ini yang benar, wallaHu a'lam)

Al Fayyumi rahimahullah berkata, "Para fuqaha berkata, 'Jika dimutlakkan istilah rithl dalam masalah furu' maka yang dimaksud adalah rithl Baghdadi'" (al Misbahul Munir hal. 230)

Dan Dr. Muhammad al Kharuf mengatakan, "Sekalipun terjadi perbedaan pendapat maka ukuran rithl Baghdadi sama dengan 408 gram" (al Idhah wa Tibyan, tahqiq oleh Dr. al Kharuf, hal. 56)
Dengan demikian jika mengikuti pendapat jumhur, maka satu mud dalam gram kurang lebih adalah 544 gram (dari satu sepertiga dikali 408) dan satu sha' kurang lebih adalah 2176 gram (dari 544 dikali 4) atau 2,176 kilogram.

Menurut Para Ulama Indonesia

Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sho' seperti Kyai Maksum-Kwaron Jombang menyatakan satu sho' sama dengan 3,145 liter, atau 14,65 cm2 atau sekitar 2751 gram.

Sedangkan pada umumnya di Indonesia, berat satu sho' dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sho’ adalah 2,75 kg, dengan 1 sho’ sama dengan di bawah 2,5 kg.

Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj, Juz I, hal 548, 1 sho’ adalah 2,4 kilo gram (Kebanyakan berpegang pada pendapat ini). Ada juga yang berpendapat 2176 gram (2,176 kg).
Di dalam kitab al Syarqawi, op cit, juz I hal. 371, Al-Nawawi menyatakan 1 sho’ sama dengan 683 5/7 dirham. Jika di konversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram. Baca juga Idrus Ali, Fiqih Kontekstual; Khulasah Istilah-istilah Kitab Kuning, Kuliah Syari’ah PP. Sidogiri, 1423 H, hal. 20-21.

Alhasil, apa yang terjadi di masyarakat, memang tidak lepas dari masalah khilafiyyah yang sebenarnya sudah terakomodir oleh ulama madzhab. Kalau kita orang awam, tidak harus mengetahui semuanya, tapi cukup mengikuti salah satunya. Menurut Imam Ghazali, wajib bagi orang awam untuk taqlid kepada salah satu madzhab. Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali , al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, hal. 371

Jadi hemat saya zakat fitrah dengan 2,5 Kg sesuai keterangan diatas hukumnya sah (Karena ada pendapat yang mengatakan 1 sho' = 2,176 Kg) dan jika ingin mengeluarkan sebesar 2,751 Kg hukumnya afdhal. Semakin afdhal tentu lebih baik. :)

Namun untuk saya pribadi lebih berhati-hati yaitu dengan mengambil pendapat dari Imam Syafi'i dimana menurut keterangan diatas, 1 Sho' adalah 2,751 Kg dan biasanya keluarga saya mengeluarkan zakat fitrah dibulatkan menjadi 3 Kg karena lebih mudah dalam pembelianya. Semoga Allah memberikan barokah atas kelebihan tersebut dan memberikan barokah dan ridhoNya atas kekurangan.

Nah demikianlah Konversi Mud dan Sho' Dalam Ukuran Gram Untuk Zakat tentu masih banyak kekurangan, namun setidaknya mudah-mudahan dapat mempermudah pembelajaran bagi para santri untuk memahami konversi tersebut.

Tidak ada komentar: