Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (lahir di Kota Pekalongan, 10 November 1947; umur 69 tahun, tanggal lahirnya bertepatan dengan 27 Rajab 1367 H) adalah pendakwah (syekh) kelahiran Kota Pekalongan berkebangsaan Indonesia. Selain menjadi pendakwah, Habib Luthfi juga menjadi ketua MUI Jawa Tengah.
Kisah ini semata-mata hanya untuk menambah kecintaan dan ketaatan pada guru (Abah Maulana Habib Luthfi bin Yahya), juga berharap sesama murid beliau agar saling mengenal. Semoga semua dalam jalinan rahmat Allah Swt. Aamiin.
1. Mbah Toyik Kudus dan Habib Ali Mayong
Mbah Toyik (KH. Thoriq), kyai asal Kota Kudus Jawa Tengah. Beliau kakak seperguruanku di tempat Abah, berperawakan kurus dan berkacamata. Kalau pergi ke Kudus, saya (Idrus Yahya) mampir ke rumah beliau. Ramah bersahabat dan ilmunya dalam namun tawadhu’ luar biasa, maka saya pribadi menganggap beliau sebagai guru. Apa-apa yang diajarkan Habib Luthfi bin Yahya (kala saya berhalangan ngaji) beliau sampaikan, dengan bahasa yang sederhana namun mengena.
Adapun ikhwal kyai “khos” ini menjadi murid Habib Luthfi bin Yahya adalah dimulai dari kisah seorang mursyid tua kala itu, Habib Ali Mayong. Dijuluki Mayong karena berasal dari kota Mayong, Jepara.
Alkisah pada suatu hari, sang guru mengajak muridnya (Kyai Thoriq) untuk diajak ke Pekalongan (pertama kali sang kyai dikenalkan Abah). Dengan menaiki becak langganan, Habib Ali Mayong berkata: “Pak, anter nggih teng Pekalongan.” (Pak, antarkan ke Pekalongan).
Tentu saja tukang becak terbelalak: “Ampun Bib, kulo mboten sagah” (Maaf Bib, saya tidak sanggup).
Habib Ali tersenyum lalu berucap: “Wis Sampeyan asal nggenjot ora usah mikir, mengko nek ora kuat mandeg kemawon” (Sudah tidak usah dipikir. Asal kayuh saja, ntar kalau capek berhenti).
Satu, dua perlahan dikayuh pedal becak dan meluncur ke arah Demak menuju Pekalongan. Kadang si tukang becak dihibur oleh Habib Ali dengan diajak ngobrol. Tak berapa lama, Habib Ali berkata: “Belok kanan nyebrang Pak.”
Tukang becak pun melihat kiri dan kanan kemudian menyebrang. Lalu sampai di gang, Habib Ali memberi aba-aba untuk berhenti. “Niki pundi Bib, terose ajeng teng Pekalongan kok mandap mriki?” (Ini daerah mana Bib, katanya mau ke Pekalongan kok turun di sini?) Tanya tukang becak.
Habib Ali menunjuk salah satu plang toko yang bertuliskan alamat dan nama jalan. “Lha iku wis tekan Pekalongan” (Lha itu sudah sampai Pekalongan), jawab Habib Ali.
Dengan penasaran tukang becak bergumam: “Duh Gusti, lha nggih pun dugi Pekalongan. Kok mboten kroso kulo?” (Ya Tuhan, lha benar sudah sampai Pekalongan. Kok tidak berasa ya?).
“Sampeyan nunggu mriki, nggih. Ki nek arep wedangan” (Kamu tunggu di sini ya. Ini kalau mau minum teh atau nyemil), sambil menyerahkan uang.
Di kediaman Habib Luthfi bin Yahya sudah selesai masak dan membuat hidangan. Rupanya Habib Luthfi bin Yahya juga merasa kalau ada salah satu guru yang akan berkunjung ke rumah beliau. Ucap salam Habib Ali bertemu Habib Luthfi bin Yahya, pelukan dan beramah tamah. Kemudian disampaikan maksud bahwa beliau (Habib Ali) dapat petunjuk untuk mengajak muridnya ke tempat Habib Luthfi. Habib Luthfi bin Yahya menjawab: “Yo wis kersane Pengeran, siapa yang ditakdirkan Allah untuk membaiat sang murid (Kyai Thoriq). Anda atau saya?”
Habib Ali tersenyum dan setuju. Giliran pertama Habib Ali memberi aurad (wiridan) singkat, sang murid melaksanakan. Satu jam berlalu dengan khusyuk sang murid ditanya gurunya (Habib Ali): “Bagaimana Kyai, sudah ada isyarat?”
Kyai Thoriq menggeleng sembai berkata: “Ngapunten Bib, dereng enten pitedah” (Mohon maaf Bib, belum dapat petunjuk).
Kemudian Habib Ali mempersilakan Habib Luthfi: “Tafadhal.” Lalu Habib Luthfi bin Yahya mendekati sang murid, perlahan memberi arahan amalan pendek. Setelah mengikuti petunjuk Habib Luthfi bin Yahya sang murid pun tertidur pulas. Satu jam berikutnya terbangun, sang murid tergopoh-gopoh menghampiri gurunya (Habib Ali) yang waktu itu sedang berdialog dengan Habib Luthfi bin Yahya. “Bib... Biib... ngapunten.”
Rupanya dalam mimpi, Kyai Thoriq bertemu Rasulullah Saw. sedang menggandeng pemuda di sebelah kanannya. Sedang satu lagi ada habib duduk di bawah di samping kiri Nabi Saw. “Haqqak hadza, tafadhal ya Habib” (Ini punyamu ya Habib), Habib Ali Mayong berkata pada Habib Luthfi bin Yahya dengan wajah berseri.
Ternyata mimpi itu bermakna lelaki muda tadi adalah Habib Luthfi bin Yahya yang digandeng Baginda Nabi Saw. Sedangkan yang terduduk adalah Habib Ali Mayong. Lalu saat itu juga dengan disaksikan Habib Ali sang gurunya, Kyai Thoriq pun dibaiat oleh Habib Luthfi bin Yahya.
Rupanya pertemuan di Pekalongan dengan Habib Luthfi bin Yahya adalah pertanda dari Allah untuk sang kyai. Al-Habib Ali Shihab alias Habib Ali Mayong beberapa minggu kemudian berpulang ke haribaanNya. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Dan yang paling menyedihkan adalah kala Habib Luthfi bin Yahya memberi isyarah pada Kyai Thoriq (dalam mimpi) untuk segera menemui gurunya, namun tidak segera dipenuhi. Sebab sang kyai ragu, pertanda tersebut dari mimpinya bukan langsung disampaikan Habib Luthfi bin Yahya. Kyai Thoriq kaget bukan kepalang, ternyata benar terjadi. Namun beliau (sang guru) telah wafat. Di rumah duka tersebut beliau berjumpa dengan Habib Luthfi bin Yahya yang tiba duluan.
Kyai Thariq terkadang di pengajian Kliwonan mampir ke Habib Luthfi bin Yahya. Tapi rutinnya tiap peringatan Maulid di Kanzus beliau selalu hadir. Sedangkan tukang becak itu hingga kini masih hidup. Dia menjadi saksi mata semua kejadian perjalanan Habib Ali Mayong, sebab kendaraan favorit beliau adalah becaknya.
2. Perjalalanan Haji Mbah Toyik
Sepulangnya ke Kudus, lalu Kyai Thoriq menemui sang istri. Sambil kebingunan beliau menyampaikan: “Nyai, aku didawuhi Abah mangkat haji. Lha pripun ora nyekel duit?” (Nyai, aku diwanti-wanti Abah suruh berangkat haji. Lha bagaimana, saya tidak punya uang sama sekali).
“Wes asal nurut bae Kyaine, mengko rak temu dalane” (Sudah, asal ngikut saja. Siapa tahu ketemu jalannya), jawab istri beliau.
Tak berapa lama setelah istirahat, kemudian selesai shalat Ashar beliau kedatangan tamu. Seseorang menyampaikan maksudnya, mohon doa agar istrinya dimudahkan atau diangkat penyakitnya. Mbah Toyik pun menenangkan tamunya, mendoakan, menghibur dan membesarkan hatinya. Kemudian tamu pun berpamitan.
Tiga hari berikutnya tamu itu datang lagi dengan wajah berseri. Lalu bercerita kalau istrinya sudah agak baikan. Rencananya mereka berdua mau berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Sudah mengurus segalanya, namun atas petunjuk dokter supaya istirahat dulu demi penyembuhan. Akhirnya segala keperluan berikut surat-surat, tiket, akomodasi penginapan, visa atau paspornya diurusin tamu tadi untuk Mbah Toyik. Beliau hanya tinggal mencari uang saku saja. Seketika beliau kaget, hingga tamunya pergi masih tidak percaya.
Diceritakannya kejadian tersebut pada istrinya. “Alhamdulillah Nyai, sido mangkat haji. Mengko sangune gampang lah” (Alhamdulillah Nyai, terkabul berangkat haji. Soal uang saku nanti menyusul), begitu kata beliau.
Akhirnya segala persiapan dilengkapi dua hari sebelum beliau berangkat. Tiba-tiba ada tamu datang lagi. Dengan memohon-mohon minta disyareati atau diikhtiari doa agar tanahnya laku, Mbah Toyik ‘lillahi ta’ala’ menyanggupi.
Hal yang mengejutkan terjadi lagi, tanahnya laku, beliau pun diberi komisi. Lengkap sudah beliau berangkat, hingga dari Kudus bareng rombongan haji berangkat ke tanah suci. Di perjalanan beliau bertemu beberapa teman baiknya. Tak disangka, mereka (para sahabat) memasukkan amplop ke kantong saku beliau. Beliau terlanjur bahagia hingga tidak dihitung, asal pindahin ke tas karena numpuk di kantong. Yang pada akhirnya jumlah isi amplop itu mencapai jutaan.
Itulah kisah inspiratif kehebatan Ulama Nusantara yang syarat akan kebijaksanaan. Semoga bermanfaat
Abah Maulana Habib Luthfi bin Yahya |
1. Mbah Toyik Kudus dan Habib Ali Mayong
Mbah Toyik (KH. Thoriq), kyai asal Kota Kudus Jawa Tengah. Beliau kakak seperguruanku di tempat Abah, berperawakan kurus dan berkacamata. Kalau pergi ke Kudus, saya (Idrus Yahya) mampir ke rumah beliau. Ramah bersahabat dan ilmunya dalam namun tawadhu’ luar biasa, maka saya pribadi menganggap beliau sebagai guru. Apa-apa yang diajarkan Habib Luthfi bin Yahya (kala saya berhalangan ngaji) beliau sampaikan, dengan bahasa yang sederhana namun mengena.
Adapun ikhwal kyai “khos” ini menjadi murid Habib Luthfi bin Yahya adalah dimulai dari kisah seorang mursyid tua kala itu, Habib Ali Mayong. Dijuluki Mayong karena berasal dari kota Mayong, Jepara.
Alkisah pada suatu hari, sang guru mengajak muridnya (Kyai Thoriq) untuk diajak ke Pekalongan (pertama kali sang kyai dikenalkan Abah). Dengan menaiki becak langganan, Habib Ali Mayong berkata: “Pak, anter nggih teng Pekalongan.” (Pak, antarkan ke Pekalongan).
Tentu saja tukang becak terbelalak: “Ampun Bib, kulo mboten sagah” (Maaf Bib, saya tidak sanggup).
Habib Ali tersenyum lalu berucap: “Wis Sampeyan asal nggenjot ora usah mikir, mengko nek ora kuat mandeg kemawon” (Sudah tidak usah dipikir. Asal kayuh saja, ntar kalau capek berhenti).
Satu, dua perlahan dikayuh pedal becak dan meluncur ke arah Demak menuju Pekalongan. Kadang si tukang becak dihibur oleh Habib Ali dengan diajak ngobrol. Tak berapa lama, Habib Ali berkata: “Belok kanan nyebrang Pak.”
Tukang becak pun melihat kiri dan kanan kemudian menyebrang. Lalu sampai di gang, Habib Ali memberi aba-aba untuk berhenti. “Niki pundi Bib, terose ajeng teng Pekalongan kok mandap mriki?” (Ini daerah mana Bib, katanya mau ke Pekalongan kok turun di sini?) Tanya tukang becak.
Habib Ali menunjuk salah satu plang toko yang bertuliskan alamat dan nama jalan. “Lha iku wis tekan Pekalongan” (Lha itu sudah sampai Pekalongan), jawab Habib Ali.
Dengan penasaran tukang becak bergumam: “Duh Gusti, lha nggih pun dugi Pekalongan. Kok mboten kroso kulo?” (Ya Tuhan, lha benar sudah sampai Pekalongan. Kok tidak berasa ya?).
“Sampeyan nunggu mriki, nggih. Ki nek arep wedangan” (Kamu tunggu di sini ya. Ini kalau mau minum teh atau nyemil), sambil menyerahkan uang.
Di kediaman Habib Luthfi bin Yahya sudah selesai masak dan membuat hidangan. Rupanya Habib Luthfi bin Yahya juga merasa kalau ada salah satu guru yang akan berkunjung ke rumah beliau. Ucap salam Habib Ali bertemu Habib Luthfi bin Yahya, pelukan dan beramah tamah. Kemudian disampaikan maksud bahwa beliau (Habib Ali) dapat petunjuk untuk mengajak muridnya ke tempat Habib Luthfi. Habib Luthfi bin Yahya menjawab: “Yo wis kersane Pengeran, siapa yang ditakdirkan Allah untuk membaiat sang murid (Kyai Thoriq). Anda atau saya?”
Habib Ali tersenyum dan setuju. Giliran pertama Habib Ali memberi aurad (wiridan) singkat, sang murid melaksanakan. Satu jam berlalu dengan khusyuk sang murid ditanya gurunya (Habib Ali): “Bagaimana Kyai, sudah ada isyarat?”
Kyai Thoriq menggeleng sembai berkata: “Ngapunten Bib, dereng enten pitedah” (Mohon maaf Bib, belum dapat petunjuk).
Kemudian Habib Ali mempersilakan Habib Luthfi: “Tafadhal.” Lalu Habib Luthfi bin Yahya mendekati sang murid, perlahan memberi arahan amalan pendek. Setelah mengikuti petunjuk Habib Luthfi bin Yahya sang murid pun tertidur pulas. Satu jam berikutnya terbangun, sang murid tergopoh-gopoh menghampiri gurunya (Habib Ali) yang waktu itu sedang berdialog dengan Habib Luthfi bin Yahya. “Bib... Biib... ngapunten.”
Rupanya dalam mimpi, Kyai Thoriq bertemu Rasulullah Saw. sedang menggandeng pemuda di sebelah kanannya. Sedang satu lagi ada habib duduk di bawah di samping kiri Nabi Saw. “Haqqak hadza, tafadhal ya Habib” (Ini punyamu ya Habib), Habib Ali Mayong berkata pada Habib Luthfi bin Yahya dengan wajah berseri.
Ternyata mimpi itu bermakna lelaki muda tadi adalah Habib Luthfi bin Yahya yang digandeng Baginda Nabi Saw. Sedangkan yang terduduk adalah Habib Ali Mayong. Lalu saat itu juga dengan disaksikan Habib Ali sang gurunya, Kyai Thoriq pun dibaiat oleh Habib Luthfi bin Yahya.
Rupanya pertemuan di Pekalongan dengan Habib Luthfi bin Yahya adalah pertanda dari Allah untuk sang kyai. Al-Habib Ali Shihab alias Habib Ali Mayong beberapa minggu kemudian berpulang ke haribaanNya. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Dan yang paling menyedihkan adalah kala Habib Luthfi bin Yahya memberi isyarah pada Kyai Thoriq (dalam mimpi) untuk segera menemui gurunya, namun tidak segera dipenuhi. Sebab sang kyai ragu, pertanda tersebut dari mimpinya bukan langsung disampaikan Habib Luthfi bin Yahya. Kyai Thoriq kaget bukan kepalang, ternyata benar terjadi. Namun beliau (sang guru) telah wafat. Di rumah duka tersebut beliau berjumpa dengan Habib Luthfi bin Yahya yang tiba duluan.
Kyai Thariq terkadang di pengajian Kliwonan mampir ke Habib Luthfi bin Yahya. Tapi rutinnya tiap peringatan Maulid di Kanzus beliau selalu hadir. Sedangkan tukang becak itu hingga kini masih hidup. Dia menjadi saksi mata semua kejadian perjalanan Habib Ali Mayong, sebab kendaraan favorit beliau adalah becaknya.
2. Perjalalanan Haji Mbah Toyik
Sepulangnya ke Kudus, lalu Kyai Thoriq menemui sang istri. Sambil kebingunan beliau menyampaikan: “Nyai, aku didawuhi Abah mangkat haji. Lha pripun ora nyekel duit?” (Nyai, aku diwanti-wanti Abah suruh berangkat haji. Lha bagaimana, saya tidak punya uang sama sekali).
“Wes asal nurut bae Kyaine, mengko rak temu dalane” (Sudah, asal ngikut saja. Siapa tahu ketemu jalannya), jawab istri beliau.
Tak berapa lama setelah istirahat, kemudian selesai shalat Ashar beliau kedatangan tamu. Seseorang menyampaikan maksudnya, mohon doa agar istrinya dimudahkan atau diangkat penyakitnya. Mbah Toyik pun menenangkan tamunya, mendoakan, menghibur dan membesarkan hatinya. Kemudian tamu pun berpamitan.
Tiga hari berikutnya tamu itu datang lagi dengan wajah berseri. Lalu bercerita kalau istrinya sudah agak baikan. Rencananya mereka berdua mau berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Sudah mengurus segalanya, namun atas petunjuk dokter supaya istirahat dulu demi penyembuhan. Akhirnya segala keperluan berikut surat-surat, tiket, akomodasi penginapan, visa atau paspornya diurusin tamu tadi untuk Mbah Toyik. Beliau hanya tinggal mencari uang saku saja. Seketika beliau kaget, hingga tamunya pergi masih tidak percaya.
Diceritakannya kejadian tersebut pada istrinya. “Alhamdulillah Nyai, sido mangkat haji. Mengko sangune gampang lah” (Alhamdulillah Nyai, terkabul berangkat haji. Soal uang saku nanti menyusul), begitu kata beliau.
Akhirnya segala persiapan dilengkapi dua hari sebelum beliau berangkat. Tiba-tiba ada tamu datang lagi. Dengan memohon-mohon minta disyareati atau diikhtiari doa agar tanahnya laku, Mbah Toyik ‘lillahi ta’ala’ menyanggupi.
Hal yang mengejutkan terjadi lagi, tanahnya laku, beliau pun diberi komisi. Lengkap sudah beliau berangkat, hingga dari Kudus bareng rombongan haji berangkat ke tanah suci. Di perjalanan beliau bertemu beberapa teman baiknya. Tak disangka, mereka (para sahabat) memasukkan amplop ke kantong saku beliau. Beliau terlanjur bahagia hingga tidak dihitung, asal pindahin ke tas karena numpuk di kantong. Yang pada akhirnya jumlah isi amplop itu mencapai jutaan.
Itulah kisah inspiratif kehebatan Ulama Nusantara yang syarat akan kebijaksanaan. Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar