BAB 35 ASAL
DARI MA’SIAT DAN KETAATAN
“ Asal dari semua ma’siat dan kelalaian serta syahwat ialah rela
memuaskan hawa nafsu. Sedang asal dari segala ketaatan, kesadaran, dan
menghargai diri sendiri adalah tidak adanya kerelaan mengumbar hawa nafsu “.
Orang yang rela (senang) pada diri sendiri, pasti menganggap
apa saja yang berhubungan dengan dirinya adalah baik, walaupun sejatinya buruk
ia akan berusaha untuk menutupinya
hingga ia lupa kepada Allah, ia tidak mau mengoreksi dan memperbaiki
semua keburukan dirinya, hatinya dikuasai oleh hawa nafsu, dan akhirnya ia
tidak bisa mendalikan diri dan mengumbar hawa nafsunya untuk berbuat ma’siat.
Sebaliknya, orang yang tidak senang pada dirinya, orang
tersebut tidak mau menganggap bagus semua perbuatannya, tapi ia selalu
mengoreksi dan memperbaiki keburukannya juga berusaha sepenuh tenaganya untuk
mengekang hawa nafsunya. Maka akhirnya muncullah ‘iffah (menghargai) dirinya yang telah mapan menjadi hamba Allah
yang muslim dan beriman, akhirnya ia tidak berani melalaikan semua perintah
Allah dan tidak berani melakukan larangan Allah.
Imam Al Bushiry berkata dalam burdah nya: “Tentanglah selalu hawa nafsu dan syaitan jga jangan
mengikuti rayuan keduanya, meskipun keduanya memberi nasihat kepadamu untuk
berbuat kebaikan, engkau harus tetap curiga dan waspada”.
Imam Hafsh juga berkata: “siapa yang tidak menuduh hawa
nafsunya sepanjang masa, tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak
menariknya ke jalan kebaikannya, maka ia telah tertipu. Dan siapa yang
memandang (merasa) dirinya sudah baik, berarti ia telah dibinasakan oleh hawa
nafsunya”.
BAB 36
PERBEDAAN ORANG ALIM DAN ORANG BODOH
“ Dan sekiranya engkau berteman dengan orang bodoh yang tidak menuruti
hawa nafsunya, itu lebih baik daripada berteman dengan orang ‘alim yang senang
menuruti hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi orang ‘alim
yang senang menuruti hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat
disebutkan bagi orang yang dapat mengekang (menahan) hawa nafsunya.”
Berteman, berkumpul dan bergaul dengan orang bodoh (yang
tidak mengerti ilmu-ilmu tentang alam semesta), tapi orang yang bodoh itu tidak
senang menuruti dan mengumbar hawa nafsunya. Hal demikian itu adalah lebih baik
daripada berteman dan bergaul dengan orang ‘alim yang senang menuruti hawa
nafsunya (selalu menganggap dirinya sudah baik) dan tidak mau memperbaiki kesalahannya.
Orang ‘alim yang membanggakan dirinya, menganggap semua
perbuatannya baik dan tidak mau mengoreksi dirinya sama dengan orang yang tidak
‘alim, sebab ilmu orang ‘alim yang seperti ini tidak memberi manfaat pada
dirinya dalam hal ma’rifat kepada Allah atau dalam hal meningkatkan
keimanannya.
Sebaliknya, orang bodoh yang tidak mengerti ilmu-ilmu
dzahir, tapi ia tidak pernah membanggakan dirinya, selalu mengoreksi dirinya
serta mau memperbaiki kekurangannya dalam hal beragama, maka ia bukanlah orang
bodoh, sebab setiap waktu ia bisa mengambil manfaat ilmunya walaupun tidak
mengerti ilmu-ilmu yang dzahir (tentang alam).
BAB 37
HAKIKAT MATA HATI MENUNJUKKAN SIFAT WUJUD ALLAH
“ Sinar mata hati dapat memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Dan mata
hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya)
Allah, dan hakikat mata hati itulah yang menunjukkan kepadamu sifat wujud
Allah, bukan ‘adam (ketiadaan) mu dan bukan pula wujudmu”.
Syu’aul bashiroh (sinar
mata hati) ialah cahaya akal yang menunjukkan pada keimanan. ‘Ainul bashiroh (mata hati) yaitu cahay
iman yang menunjukkan pada kenyataan.
Orang-orang yang menggunakan akal mereka, pasti akan
merasakan kedekatan Allah pada dirinya (Allah selalu meliputi dan mengurusi
mereka). Sedangkan orang yang selalu menggunakan cahaya iman merasa dirinya
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Dzatnya Allah. Sedang hakikat
mata hati hanya melihat adanya Allah tanpa melihat yang lainnya, karena selain
Allah (seperti alam dan makhluk) tidak dapat berdiri sendiri dan mereka tidak
mungkin wujud tanpa adanya Allah.
BAB 38
ALLAH TIDAK MENGENAL PERUBAHAN
“Telah ada Allah, dan tiada sesuatu di samping Nya, dan Allah sekarang
sebagaiman adanya semula (tidak akan pernah berubah).”
Hal ini menunjukkan bahwa adanya Allah sebelum diciptakannya
alam semesta dan sesudah tamatnya riwayat alam semesta ini tetaplah sama, Allah
tidak akan pernah berubah dan tetap sebagaimana semula. Tidak seperti manusia
yang awal dilahirkannya berupa bayi,
lalu beranjak dewasa kemudian menjadi tua
renta dan akhirnya mati. Allah tetap kekal abadi dan tidak ada yang menyamai
Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar