Membahas Berbagai Masalah Agama, Tasawuf, Usuluddin, Fikih dan Lainnya.

Senin, 22 Agustus 2016

Dalil Sikap Nasionalisme

Dalil Sikap Nasionalisme













Oleh: Redaktur Pelaksana Santrionline
Nasionalisme dalam Bahasa Arab diartikan sebagai al suubiyah atau menurut pendapat lain disebut juga al wathoniah didefinisikan sebagai paham dan proses di dalam sejarah ketika sekelompok orang merasa menjadi anggota dari suatu bangsa (nation) dan mereka secara bersama-sama ingin mendirikan sebuah negara (state) yang mencakup semua anggota kelompok tersebut. [1]
Tahtawi (1801-1873) berpendapat bahwa seseorang dari tanah air yang sama mempunyai kewajiban yang sama satu sama yang lain, layaknya hubungan satu dengan orang lain dalam satu agama yang sama. Lutfi al-Sayyid (1872-1963), mengaitkan universalisme” (pemikiran bahwa tanah Islam adalah tanah air seluruh muslim) dengan imprealisme Islam (yakni: Utsmani/turki). Menurutnya, gagasan itu sudah usang dan harus digantikan dengan satu kepercayaan yang sesuai dengan ambisi setiap Negara timur yang mempunyai tanah air yaitu rasa nasionalisme (wathaniyyah). [2]
Merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim untuk
mempertahankan kedaulatan negara dan berusaha untuk membangunnya. Nabi Muhammad saw juga telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori.
"Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi saw beliau bersabda: ”Siapa yang melihat suatu tindakan pembesarnya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar karena siapa yang keluar dari kekuasaan yang sah barang sejengkal, niscaya orang itu mati secara kematian jahiliyah.” [3]
Nabi senantiasa mencintai negeri yang didiaminya.
عَÙ†ِ ابْÙ†ِ عَبَّاسٍ Ù‚َالَ Ù‚َالَ رَسُÙˆْÙ„ُ اللهِ صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù„َÙ…َّا Ø£ُØ®ْرِجَ Ù…ِÙ†ْ Ù…َÙƒَّØ©َ : اِÙ†ِّÙŠ Ù„َØ£ُØ®ْرَجُ Ù…ِÙ†ْÙƒِ ÙˆَاِÙ†ِّÙŠ Ù„َØ£َعْÙ„َÙ…ُ Ø£َÙ†َّÙƒِ Ø£َØ­َبُّ بِÙ„َادِ اللهِ اِÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَØ£َÙƒْرَÙ…ُÙ‡ُ عَÙ„َÙ‰ اللهِ ÙˆَÙ„َÙˆْÙ„َا Ø£َÙ†َّ Ø£َÙ‡ْÙ„َÙƒَ Ø£َØ®ْرَجُÙˆْÙ†ِÙŠ Ù…ِÙ†ْÙƒِ Ù…َا Ø®َرَجْتُ Ù…ِÙ†ْÙƒِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
Ù‚َالَ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ – صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ اللَّÙ‡ُÙ…َّ Ø­َبِّبْ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ†َا الْÙ…َدِينَØ©َ ÙƒَØ­ُبِّÙ†َا Ù…َÙƒَّØ©َ Ø£َÙˆْ Ø£َØ´َدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Lebih lanjut, Allah SWT., berfirman: "Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman" [Saba' 18]
Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah juga mensyariatkan umatnya untuk memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan tidak diperkenankan untuk mengambil tindakan memisahkan diri dari kepemimpinan negara yang syah.
Sumber:
1. Zudi Setiawan. 2007. Nasionalisme NU. Semarang: Aneka Ilmu, 2007.
2. Antony Black. 2006 Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
3. Bukhori, Terjemah Hadits Shahih Bukhori jilid 4[1857]

Tidak ada komentar: