Membahas Berbagai Masalah Agama, Tasawuf, Usuluddin, Fikih dan Lainnya.

Selasa, 28 Juni 2016

TASHAWUF: KAJIAN KITAB AL HIKAM BAB 47, 48, 49, 50 SYAIKH AHMAD IBNU ‘ATHAAILLAH AS SAKANDARY

BAB 47 KADAR BANYAK DAN SEDIKITNYA AMAL

“Tidak dapat dianggap sedikit amal perbuatan yang dilakukan dengan keikhlasan hati dan tidak dapat dianggap banyak amal perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak ikhlas”.

Amal orang yang zuhud walaupun sedikit, tidak bisa dinamakan sedikit tetapi banyak, karena dalam hati orang yang zuhud kosong dari apa saja yang mengganggu hatinya untuk menghadap kepada Allah dan hatinya bisa menghadap kepada Allah saat beribadah. Sebaliknya amal yang banyak yang dilakukan orang yang tidak zuhud tidak bisa dianggap banyak, karena hatinya selalu dipenuhi apa saja selain Allah.

Hakikat zuhud adalah tidak adanya ketergantungan hati pada apa saja yang bersifat keduniaan, hal itu timbul karena hatinya hanya tertuju kepada Allah, sebagaimana diterangkan dalam hadits nabi saw yang artinya; “Zuhud tidaklah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud adalah engkau harus lebih percaya pada tangan (kekuasaan) Allah dibanding dengan apa yang ada ditangan (kekuasaan)mu”.

Dalam hadits lain, dari Ibnu Mas’ud yang artinya, dua rakaat orang alim yang zuhud lebih bagus dan lebih disukai oleh Allah daripada orang-orang yang ahli ibadah yang senang dunia selama-lamanya.

Abu sulaiman Ad Daraani bertanya kepada Ma’ruf al Karokhiy: “mengapakah orang-orang itu kuat taat sampai sedemikian banyaknya?”, lalu Ma’ruf al Karokhiy menjawab: “karena mereka telah membersihkan hati mereka dari kecintaannya kepada dunia, andaikan masih ada sedikit saja cinta dunia didalam hatinya, tidak akan diterima dari mereka amal perbuatan itu”.

BAB 48 KESEMPURNAAN AMAL ADALAH ISTIQOMAH

“Baik (sempurna) nya amal perbuatan adalah buah (hasil) dari baiknya hati, dan baiknya hati itu sebagai hasil dari kesungguhan istiqomah pada tempat yang telah ditetapkan Allah”.

Yang dimaksud amal yaitu gerakan badan secara lahiriyah. Sedang ha l yaitu gerakan hati yang menimbulkan perubahan yang meningkat. Maqom inzal yaitu apa saja yang turun ke hati berupa macam-macam ma’rifat atau pengetahuan yang berhubungan deng ke Tuhanan atau yang lainnya. Siapa yang ma’rifatnya lebih sempurna, hal  orang tersebut lebih kokoh, siapa yang tingkah halnya lebih kokoh, amalnya pasti lebih sempurna.

Maqam (kedudukan) ma’rifat itu ada tiga tingkatan yang sambung-menyambung, sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali: “Setiap maqam itu muncul dari ilmu, amal dan hal. Maqam itu menumbuhkan amal, amal menumbuhkan hal, karena gerakan tubuh itu mengikuti gerakan hati dan gerakan hati berjalan bersama gerakan tubuh”.

BAB 49 JANGAN PUTUS ASA DALAM BERDZIKIR

“Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum selalu ingat kepada Allah di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu kepada Allah ketika tidak berdzikir lebih berbahaya daripada kelalaianmu terhadap Allah ketika engkau berdzikir. Semoga Allah menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian kepada dzikir yang disertai ingat (sadar) terhadap Allah, dan dari dzikir dengan kesadaran kepada dzikir yang disertai rasa hadir, dan dari dzikir yang disertai rasa hadir kepada dzikir yang disertai lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sulit”.

Jangan engkau meninggalkan dzikir dikarenakan tidak bisa hudhur (menghadirkan hati), sebaliknya berdzikirlah, baik dalam dzikir tersebut hati bisa menghadap atau tidak, karena Allah swt telah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian pada Allah dengan sebanyak-banyaknya dzikir. Dan bertasbihlah kepada Allah pada pagi dan petang”.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin ra: “Ada seorang yang melapor kepada Rasulullah: Y a Rasulullah, syari’at Islam sudah banyak sekali, berilah aku nasehat, manakah yang harus aku pegang teguh?”,  Rasulullah bersabda: “Usahakanlah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah”.

Ayat Al Qur’an dan Hadits diatas hanya memerintahkan dzikir dengan lisan. Ini bisa dilakukan oleh siapa saja secara terus menerus, beda dengan hudhur, karena manusia hidup menghadapi berbagai persoalan yang sewaktu-waktu bisa membuatnya lupa.

Abul Qosim Al-Qusyairi berkata:” Dzikir adalah simbol kewalian, dan pelita penerangan untuk sampai, dan tanda sehatnya permulaan dan menunjukkan jernihnya akhir (puncak) tujuannya. Tidak ada amal yang menyamai dzikir, sebab segala amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak bisa dibatasi”.

Abdullah bin Abbas ra. Berkata: “Tiada suatu kewajiban yang diwajibkan oleh Allah pada hamba Nya melainkan ada batas-batasnya, kemudian bagi orang-orang yang berudzutdimaafkan bila tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka tidak ada batas dan tidak ada udzur yang dapat diterima untuk tidak berdzikir, kecuali jika berubah akal (gila)”.

BAB 50 TANDA MATINYA HATI

“sebagian dari tanda matinya hati, yaitu tidak merasa sedih (susah) karena tertinggalnya suatu amal kebaikan, juga tidak menyesal jika terjadi berbuat suatu pelanggaran dosa”.

Tanda-tanda matinya hati yaitu tidak mempunyai rasa susah karena terlambat menjalankan (meninggalkan) amal kebaikan yang diridhai Allah dan tidak punya rasa sesal dalam ketika melakukan suatu kesalahan (dosa). Hati yang hidup ialah yang merasa sakit sebab melakukan kema’siatan dan merasa senang menjalani ketaatan, orang mengejar ketaatan karena merasa nikmat dan menjauhi ma’siat karena sakit ketika melakukannya.

Ibnu Mas’ud ra berkata: “Orang mu’min bila melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah gunung, takut bila puncak gunung runtuh menimpa mereka. Sedang orang munafik jika melihat dos-dosanya bagaikan melihat lalat yang hunggap di hidungnya lalu diusir”. Rasa sesal dan susah ini kadang-kadang menjadikan orang merasa sedih dan putus asa, yang kedua-duanya tidaklah baik.


Tidak ada komentar: