BAB 47 KADAR BANYAK DAN SEDIKITNYA AMAL
“Tidak dapat dianggap sedikit
amal perbuatan yang dilakukan dengan keikhlasan hati dan tidak dapat dianggap
banyak amal perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak ikhlas”.
Amal orang yang zuhud walaupun
sedikit, tidak bisa dinamakan sedikit tetapi banyak, karena dalam hati orang
yang zuhud kosong dari apa saja yang mengganggu hatinya untuk menghadap kepada
Allah dan hatinya bisa menghadap kepada Allah saat beribadah. Sebaliknya amal
yang banyak yang dilakukan orang yang tidak zuhud tidak bisa dianggap banyak,
karena hatinya selalu dipenuhi apa saja selain Allah.
Hakikat zuhud adalah tidak adanya
ketergantungan hati pada apa saja yang bersifat keduniaan, hal itu timbul
karena hatinya hanya tertuju kepada Allah, sebagaimana diterangkan dalam hadits
nabi saw yang artinya; “Zuhud tidaklah
mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud
adalah engkau harus lebih percaya pada tangan (kekuasaan) Allah dibanding
dengan apa yang ada ditangan (kekuasaan)mu”.
Dalam hadits lain, dari Ibnu Mas’ud
yang artinya, dua rakaat orang alim yang zuhud lebih bagus dan lebih disukai
oleh Allah daripada orang-orang yang ahli ibadah yang senang dunia
selama-lamanya.
Abu sulaiman Ad Daraani bertanya
kepada Ma’ruf al Karokhiy: “mengapakah orang-orang itu kuat taat sampai
sedemikian banyaknya?”, lalu Ma’ruf al Karokhiy menjawab: “karena mereka telah
membersihkan hati mereka dari kecintaannya kepada dunia, andaikan masih ada
sedikit saja cinta dunia didalam hatinya, tidak akan diterima dari mereka amal
perbuatan itu”.
BAB 48 KESEMPURNAAN AMAL ADALAH ISTIQOMAH
“Baik (sempurna) nya amal
perbuatan adalah buah (hasil) dari baiknya hati, dan baiknya hati itu sebagai
hasil dari kesungguhan istiqomah pada tempat yang telah ditetapkan Allah”.
Yang dimaksud amal yaitu gerakan badan secara lahiriyah. Sedang ha l yaitu gerakan hati yang menimbulkan
perubahan yang meningkat. Maqom inzal yaitu
apa saja yang turun ke hati berupa macam-macam ma’rifat atau pengetahuan yang
berhubungan deng ke Tuhanan atau yang lainnya. Siapa yang ma’rifatnya lebih
sempurna, hal orang tersebut lebih
kokoh, siapa yang tingkah halnya lebih kokoh, amalnya pasti lebih sempurna.
Maqam
(kedudukan) ma’rifat itu ada tiga tingkatan yang sambung-menyambung,
sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali: “Setiap
maqam itu muncul dari ilmu, amal dan hal. Maqam itu menumbuhkan amal, amal
menumbuhkan hal, karena gerakan tubuh itu mengikuti gerakan hati dan gerakan
hati berjalan bersama gerakan tubuh”.
BAB 49 JANGAN PUTUS ASA DALAM BERDZIKIR
“Jangan meninggalkan dzikir,
karena engkau belum selalu ingat kepada Allah di waktu berdzikir, sebab
kelalaianmu kepada Allah ketika tidak berdzikir lebih berbahaya daripada
kelalaianmu terhadap Allah ketika engkau berdzikir. Semoga Allah menaikkan
derajatmu dari dzikir dengan kelalaian kepada dzikir yang disertai ingat
(sadar) terhadap Allah, dan dari dzikir dengan kesadaran kepada dzikir yang
disertai rasa hadir, dan dari dzikir yang disertai rasa hadir kepada dzikir
yang disertai lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Dan yang demikian itu
bagi Allah tidaklah sulit”.
Jangan engkau meninggalkan dzikir
dikarenakan tidak bisa hudhur (menghadirkan hati), sebaliknya berdzikirlah,
baik dalam dzikir tersebut hati bisa menghadap atau tidak, karena Allah swt
telah berfirman yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian pada Allah dengan
sebanyak-banyaknya dzikir. Dan bertasbihlah kepada Allah pada pagi dan petang”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Busrin ra: “Ada seorang yang melapor
kepada Rasulullah: Y a Rasulullah, syari’at Islam sudah banyak sekali, berilah
aku nasehat, manakah yang harus aku pegang teguh?”, Rasulullah bersabda: “Usahakanlah lisanmu selalu
basah dengan dzikir kepada Allah”.
Ayat Al Qur’an dan Hadits diatas
hanya memerintahkan dzikir dengan lisan. Ini bisa dilakukan oleh siapa saja
secara terus menerus, beda dengan hudhur, karena manusia hidup menghadapi
berbagai persoalan yang sewaktu-waktu bisa membuatnya lupa.
Abul Qosim Al-Qusyairi berkata:” Dzikir adalah simbol kewalian, dan pelita
penerangan untuk sampai, dan tanda sehatnya permulaan dan menunjukkan jernihnya
akhir (puncak) tujuannya. Tidak ada amal yang menyamai dzikir, sebab segala
amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa
dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak bisa dibatasi”.
Abdullah bin Abbas ra. Berkata: “Tiada suatu kewajiban yang diwajibkan oleh
Allah pada hamba Nya melainkan ada batas-batasnya, kemudian bagi orang-orang
yang berudzutdimaafkan bila tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka
tidak ada batas dan tidak ada udzur yang dapat diterima untuk tidak berdzikir,
kecuali jika berubah akal (gila)”.
BAB 50 TANDA MATINYA HATI
“sebagian dari tanda matinya
hati, yaitu tidak merasa sedih (susah) karena tertinggalnya suatu amal kebaikan,
juga tidak menyesal jika terjadi berbuat suatu pelanggaran dosa”.
Tanda-tanda matinya hati yaitu
tidak mempunyai rasa susah karena terlambat menjalankan (meninggalkan) amal
kebaikan yang diridhai Allah dan tidak punya rasa sesal dalam ketika melakukan
suatu kesalahan (dosa). Hati yang hidup ialah yang merasa sakit sebab melakukan
kema’siatan dan merasa senang menjalani ketaatan, orang mengejar ketaatan
karena merasa nikmat dan menjauhi ma’siat karena sakit ketika melakukannya.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Orang mu’min bila melihat dosa-dosanya
bagaikan duduk di bawah gunung, takut bila puncak gunung runtuh menimpa mereka.
Sedang orang munafik jika melihat dos-dosanya bagaikan melihat lalat yang
hunggap di hidungnya lalu diusir”. Rasa sesal dan susah ini kadang-kadang
menjadikan orang merasa sedih dan putus asa, yang kedua-duanya tidaklah baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar