BAB 13 DUA HAL YANG
BERLAWANAN TAK MNGKIN BERKUMPUL JADI SATU
“Bagaimana mungkin dapat
menjadi tenang hati orang yang dalam cermin (hatinya) terukir gambar akwan (selain
Allah. Atau bagaiman hati tersebut pergi menuju sisi Allah sedang ia
terbelenggu oleh syahwatnya. Atau bagaimana mungkin hati akan bisa masuk ke
hadirat Allah sedang ia belum suci dari segala kelalaian yang diumpamakan
janabat(orang yang berhadats besar). Atau bagaimana ia mengharap akan mengerti
rahasia yang halus (dalam) padahal ia belum bertaubat dari segala kekeliruannya”.
Berkumpulnya dua hal yang
berlawanan pada satu tempat dan masa adalah sesuatu yang tidak mungkin (mustahil),
sebagaimana mustahilnya terang dan gelap. Begitu pula tidaklah mungkin cahaya
iman akan berkumpul dengan gelapnya hati, dikarenakan ia masih selalu berharap
kepada sesuatu selain Allah. Demikian pula kita bisa berjalan menuju ridha Allah
bila kita masih terbelenggu oleh hawa nafsu.
Kebaikan dan keburukan tidak akan
pernah bersatu bagaikan minyak dengan air, meskipun keduanya berkumpul dalam
satu wadah tapi taka akan pernah bersatu. Orang dianggap sebagai orang baik,
tatkala ia melakukan kebaikan dan terus menerus didalam kebaikan itu, bukan
hanya melakukan kebaikan satu kali saja kemudian kembali kepada keburukan. Begitu
pula orang dianggap buruk karena orang tersebut melakukan dan membiasakan
keburukan itu didalam kehidupannya. Maka keistiqamahan dalam proses “menjadi” lah
yang menjadi kunci dalam melakukan segala hal, bukan sekadar hasil dari apa
yang dilakukan.
BAB 14 PENERANG ALAM SEMESTA ADALAH ALLAH
“Alam semesta ini seluruhnya
adalah berupa kegelapan, dan sesungguhnya yang meneranginya tampaknya haq di
dalamnya.”.
Alam semesta (langit,
bumi, beserta isinya) ini pada hakikatnya berada dalam keadaan gelap gulita,
kemudian bisa menjadi terang hingga bisa terlihat adalah dikarenakan tampaknya
nur (cahaya) Allah, Tuhan yang haq yang tetap abadi sifat kesempurnaan Nya pada
alam semesta ini. Dalam surat an nur ayat 35, Allah berfirman yang artinya:
“Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus,
yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca dan kaca itu bagaikan
bintang-bintang yang besinar seperti mutiara, yang dinyalakan denngan minyak
dari pohon yang banyak berkanya, yaitu pohon Zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya saja
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api Cahaya diatas cahaya (berlapis) , Allah membimbing kepada cahaya
Nya siapa yang Ia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan kepada manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu ”.
BAB 15 MELIHAT ALLAH DALAM MEMANDANG
ALAM SEMESTA
“Barang
siapa yang melihat alam dan tidak melihat Allah di dalamnya, atau padanya, atau
sebelumnya, atau sesudahnya, maka ia telah bear-benar disilaukan oleh adanya
nur (cahaya) datertutup baginya surya (cahaya) ma’rifat dikarenakan awan (mendung)
benda-benda alam ini”.
Dikarenakan terangya
(berjalannya) langit bumi serta segala isinya adalah sebab nur Allah, maka
barang siapa yang melihat apa yang ada di alam semsta ini tapi tidak melihat
Allah didalamnya, atau padanya, atau sebelunya, atau sesudahnya. Maka jelaslah
bahwa orang tersebut telah jauh dari nur Allah dan macam-macam ma’rifat kepada
Allah sebab hatinya telah dihalangi oleh apa yang dilihatnya di ala mini, baik
berupa harta, kekayaan, pangkat, maupun kedudukan.
Sebaliknya barang siapa yang
melihat Allah pada apa yang dilihatnya, atau padanya, atau sebelumnya, atau
sesudahnya. Itulah orang yang sempurna dan mendapat nur Allah yang melahirkan
berbagai macam pengetahuan yang samar walaupun berbeda antara satu dengan yang
lainnya, artinya memandang Allah dalam apa yang dilihatnya, memandang bahwa
yang mengatur dan menjaankan alam semesta ini adalah Allah.
Syuhud (memandang) bahwa
Allahlah Dzat yang maha kuasa memberi manfaat pada apa yang dilihatnya, jadi
kita selalu ada bayangan yang menimbulkan muraqabah, maksudnya mengawasi
perbuatan Allah dengan bersyukur kepada Allah SWT atas anugra h yang telah
diberikan dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Jika muraqabah ini
telah mapan dan matang, hilang kesenangan hawa nafsunya, karena selalu sibuk
memikirkan Allah dan tidak ada kesempatan memikirkan dirinya sendiri dan sibuk
menjalankan hak-hak Allah sehingga tak sempat mengingat apa yang jadi
kepentingan nafsunya.
Dalam hadits Qudsi, Rasulullah
bersabda: “ Allah berfirman: “Wahai hamba Ku, Aku menurut apa yang jadi
prasangkamu kepada Ku dan Aku bersamamu ketika engkau selalu ingat kepada Ku””.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar